Pers
adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan
kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk
tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun
dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik,
dan segala jenis saluran yang tersedia.
Dan menyikapi
hal ini, Ketua Komis I DPR RI Mahfudz Sidiq menyampaikan
keprihatinannya. Stasiun TV, menurutnya, sudah mengabaikan empat
fungsinya sebagai lembaga penyiaran, yakni fungsi informasi, pendidikan,
hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Legislator asal PKS
ini mengatakan, stasiun TV saat ini lebih mengejar rating. “Mereka
semakin mengejar rating untuk mengejar iklan. Akibatnya banyak tayangan
yang tidak bermutu dan melanggar P3SPS (Pedoman Prilaku Penyiaran dan
Standar Program Siaran),” kata Mahfudz
Lanjut sesuai judul Stasiun Televisi Dijadikan Sebagai Alat Politik, secara garis besar dibedakan menjadi dua yakni Stasiun Telivisi yang pro dan kontra terhadap pemerintah, mari kita jabarkan :
1. Pro Pemerintah
Lanjut sesuai judul Stasiun Televisi Dijadikan Sebagai Alat Politik, secara garis besar dibedakan menjadi dua yakni Stasiun Telivisi yang pro dan kontra terhadap pemerintah, mari kita jabarkan :
1. Pro Pemerintah
Jelas stasiun telivisi yang pro terhadap pemerintah dipimpin oleh Metro TV yang dimiliki oleh Surya Paloh. Ironis
memang, kalau dulu TVRI dijauhi pemirsa lantaraan pemberitaannya
cenderung berpihak pemerintah, justru pada waktu terakhir ini Metro TV
jauh lebih menguat pemberitaannya membangga-banggakan Pemerintahan
Jokowi-JK, sehingga tampak sekali, TV sebagai media publik sudah tidak
menyajikan informasi yang kurang sehat.
Hal ini terbukti, ketika banyak kalangan memprotes dan unjuk rasa besar-besaran disejumlah daerah atas kenaikan harga BBM lantaran kebijakan Presiden Jokowi-JK, sehingga menimbulkan persoalan besar bagi bangsa ini, Metro TV jarang bahkan “tidak” menyiarkan peristiwa unjuk rasa tersebut. Bahkan dalam sebuah pemberitaan di Metro TV menyebut (kurang lebih); “Presiden Jokowi menaikkan harga BBM merupakan kebijakan yang tidak populer, yang patut diapresiasi”. Pada hal semua tahu, kalimat itu juga sering ditujukan pada presiden SBY pada saat kenaikan BBM. Namun demikian Metro TV tetap saja mengkritiki habi-habisan pada kebijakan SBY.
Sebagai permirsa, tentu merasa prihatin dan kecewa dalam model penyajian Metro TV. Metro TV merupakan stasiun tv besar dan profesional. Siapa yang tak kenal kecerdesan stasiun TV yang menjadi simbol segmen pemirsa menengah keatas?. Tapi bukan berarti masyarakat menengah kebawah tidak meng-klik chanel Metro TV.
Jadi kesan terakhir sebagaima banyak dilansir di media, METRO TV telah beralih menjadi stasiun TV Pembangunan dengan tugas menyiarkan berita-berita yang baik saja versi kebijakan pemerintah. Dan cenderung tabu menyeimbangkan pemberitaan aktual sebagaimana terjadi selama ini di tengah masyarakat. Dalam posisi ini, tentu seluruh pemirsa berharap, agar Metro TV sebagai kebanggaan bangsa ini, terus berkarya secara netral, aktual, proporsional dan berpihak kepentingan publik secara terbuka. Kita semua sangat berharap, dan menunggu penyiar Metro TV yang cerdas itu, juga menyiarkan segala hal yang terbaik, baik dalam peristiwa pembangunan dan peristiwa dalam sajian kritis dan menarik.
Hal ini terbukti, ketika banyak kalangan memprotes dan unjuk rasa besar-besaran disejumlah daerah atas kenaikan harga BBM lantaran kebijakan Presiden Jokowi-JK, sehingga menimbulkan persoalan besar bagi bangsa ini, Metro TV jarang bahkan “tidak” menyiarkan peristiwa unjuk rasa tersebut. Bahkan dalam sebuah pemberitaan di Metro TV menyebut (kurang lebih); “Presiden Jokowi menaikkan harga BBM merupakan kebijakan yang tidak populer, yang patut diapresiasi”. Pada hal semua tahu, kalimat itu juga sering ditujukan pada presiden SBY pada saat kenaikan BBM. Namun demikian Metro TV tetap saja mengkritiki habi-habisan pada kebijakan SBY.
Sebagai permirsa, tentu merasa prihatin dan kecewa dalam model penyajian Metro TV. Metro TV merupakan stasiun tv besar dan profesional. Siapa yang tak kenal kecerdesan stasiun TV yang menjadi simbol segmen pemirsa menengah keatas?. Tapi bukan berarti masyarakat menengah kebawah tidak meng-klik chanel Metro TV.
Jadi kesan terakhir sebagaima banyak dilansir di media, METRO TV telah beralih menjadi stasiun TV Pembangunan dengan tugas menyiarkan berita-berita yang baik saja versi kebijakan pemerintah. Dan cenderung tabu menyeimbangkan pemberitaan aktual sebagaimana terjadi selama ini di tengah masyarakat. Dalam posisi ini, tentu seluruh pemirsa berharap, agar Metro TV sebagai kebanggaan bangsa ini, terus berkarya secara netral, aktual, proporsional dan berpihak kepentingan publik secara terbuka. Kita semua sangat berharap, dan menunggu penyiar Metro TV yang cerdas itu, juga menyiarkan segala hal yang terbaik, baik dalam peristiwa pembangunan dan peristiwa dalam sajian kritis dan menarik.
2. Kontra Pemerintah
Serangan
Aburizal Bakrie terhadap Surya Paloh melalui TV One miliknya juga tidak
kalah seru. Bakrie melarang semua orang-orang Golkar bergabung dengan
Nasional Demokrat yang dipimpin Surya Paloh. Ancamannya adalah dipecat.
Puncaknya adalah ketika Aburizal Bakrie tidak bersedia melayani
wawancara apabila diantara wartawan yang merubunginya itu ada yang dari
Metro TV, karena ia menilai stasiun TV ini sudah mendiskreditkan
dirinya.
Juga sangat menarik membandingkan bagaimana kedua stasiun TV ini memandang kasus lumpur Lapindo. Kasus Lapindo juga dijadikan Metro TV untuk menyudutkan Bakrie. Metro TV selalu menyatakan kasus lumpur Lapindo sebagai kelalaian manusia (human error) dan Bakrie harus bertanggung jawab, sedangkan TV One mengutip pernyataan geolog luar negeri yang menyatakan lumpur Lapindo adalah bencana alam akibat gempa di Yogyakarta beberapa tahun lalu, oleh karena itu secara implisit mereka menyatakan kesalahan bukan pada Aburizal Bakrie (kepada alam kali?)
Juga sangat menarik membandingkan bagaimana kedua stasiun TV ini memandang kasus lumpur Lapindo. Kasus Lapindo juga dijadikan Metro TV untuk menyudutkan Bakrie. Metro TV selalu menyatakan kasus lumpur Lapindo sebagai kelalaian manusia (human error) dan Bakrie harus bertanggung jawab, sedangkan TV One mengutip pernyataan geolog luar negeri yang menyatakan lumpur Lapindo adalah bencana alam akibat gempa di Yogyakarta beberapa tahun lalu, oleh karena itu secara implisit mereka menyatakan kesalahan bukan pada Aburizal Bakrie (kepada alam kali?)
Sangat
memuakkan melihat penggunaan kedua media TV itu untuk propaganda
pribadi pemilik dan alat untuk menyerang lawannya. Harus diingat bahwa
frekuensi saluran TV adalah milik publik yang dikuasai oleh Negara, maka
publik mempunyai hak untuk menerima informasi yang bermutu. Penggunaan
saluran frekuensi untuk menyerang pihak lain jelas sebuah pelanggaran
terhadap hak pemirsa. Media yang menggunakan frekuensi itu seharusnya
netral dalam memberitakan sesuatu, biarlah publik yang menilai benar
salahnya. Kalau berseteru ya berseteru saja, tetapi jangan libatkan
publik untuk dukung mendukung melalui media yang dimiliki. Media publik
seperti TV adalah untuk kepentingan umum. Masyarakat sebenarnya dapat
menuntut Pemerintah untuk mencabut saluran frekuensi TV jika media TV
digunakan tidak untuk kepentingan masyarakatm tetapi untuk kepentingan
pribadi.
0 komentar:
Posting Komentar